Pages

Subscribe:

29 November 2010

Keras Kepala

Dua ekor kambing berjalan dengan gagahnya dari arah yang berlawanan di sebuah pegunungan yang curam, saat itu secara kebetulan mereka secara bersamaan masing-masing tiba di tepi jurang yang dibawahnya mengalir air sungai yang sangat deras.

Sebuah batang pohon telah dijadikan jembatan untuk menyebrangi jurang tersebut.

Pohon yang dijadikan jembatan tersebut sangatlah kecil sehingga tidak dapat dilalui secara bersamaan oleh dua ekor kambing.

Jembatan yang sangat kecil itu akan membuat orang yang paling berani pun akan menjadi ketakutan.

Tetapi kedua kambing tersebut tidak merasa ketakutan.

Rasa sombong dan harga diri mereka tidak membiarkan mereka untuk mengalah dan memberikan jalan terlebih dahulu kepada kambing lainnya.

Saat salah satu kambing menapakkan kakinya ke jembatan itu, kambing yang lainnya pun tidak mau mengalah dan juga menapakkan kakinya ke jembatan tersebut.

Akhirnya keduanya bertemu di tengah-tengah jembatan.

Keduanya masih tidak mau mengalah dan malahan saling mendorong dengan tanduk mereka sehingga kedua kambing tersebut akhirnya jatuh ke dalam jurang dan tersapu oleh aliran air yang sangat deras di bawahnya.

_________________________________

Sifat keras kepala dan tidak mau mengalah akan membuat kita celaka..

26 November 2010

Burung Gagak yang cerdik

Pada suatu musim yang sangat kering, dimana saat itu burung-burungpun sangat sulit mendapatkan sedikit air untuk diminum, seekor burung gagak menemukan sebuah kendi yang berisikan sedikit air.

Tetapi kendi tersebut merupakan sebuah kendi yang tinggi dengan leher kendi sempit.

Bagaimanapun burung gagak tersebut berusaha untuk mencoba meminum air yang berada dalam kendi, dia tetap tidak dapat mencapainya.

Burung gagak tersebut hampir merasa putus asa dan merasa akan meninggal karena kehausan.

Kemudian tiba-tiba sebuah ide muncul dalam benaknya.

Dia lalu mengambil kerikil yang ada di samping kendi, kemudian menjatuhkannya ke dalam kendi satu persatu.

Setiap kali burung gagak itu memasukkan kerikil ke dalam kendi, permukaan air dalam kendipun berangsur-angsur naik dan bertambah tinggi hingga akhirnya air tersebut dapat di capai oleh sang burung Gagak.

__________________________________

Kemauan, kreatifitas, dan pengetahuan bisa menolong diri kita pada saat yang tepat.

23 November 2010

Bulan yang sombong

Langit ditaburi bintang dan bulan yang bersinar indah. Senang sekali rasanya melihat keindahan malam dari ketinggian.

Alam di bawah tampak sunyi. Hampir di setiap beranda rumah, tampak orang duduk-duduk. Mereka memandang ke langit.

Bulan merasa senang, lalu katanya kepada bintang-bintang,"Lihat, teman-teman. Mereka mengagumiku."

"Mengagumimu? Belum tentu. Mungkin mereka mengagumi kami," kata sebuah bintang.

"Tapi dari bawah, aku kelihatan lebih besar dan indah!" sahut Bulan.

"Huh, sombong!" sungut sebuah bintang pada teman-temannya.


"Dia boleh saja sombong. Tapi, dia tak kan dapat mengalahkan Matahari," kata bintang yang lain.

"Apa?" sahut Bulan terkejut. "Ya, kau tak bisa mengalahkan Matahari. Karena Matahari lebih banyak penggemarnya".

Pagi hari, saat Matahari terbit, orang-orang ingin menyaksikannya.

Waktu Matahari naik, orang-orang berjemur untuk kesehatan.

Selain disukai, Matahari pun disegani. Walaupun ia bersinar terik, orang-orang tidak mengumpat.

Mereka hanya mencari tempat yang teduh. Matahari mempunyai jasa yang besar, mengeringkan jutaan pakaian yang dicuci orang.

"Terus terang, kami pun lebih menyukai Matahari karena ia hebat," kata sebuah bintang. "Tidak sombong lagi!" sahut bintang yang lain.

Bulan diam. Ia sangat kesal. Betulkah Matahari sehebat itu? Sepanjang malam ia tak bisa tenang. Ia terus berpikir bagaimana mengalahkan Matahari. Akhirnya Bulan mendapat akal.

Pagi datang. Matahari segera menghampiri bulan.

"Selamat pagi, Bulan. Sudah saatnya aku bekerja. Sekarang kau boleh beristirahat."

"Tidak!"

"Lo, kenapa?" tanya Matahari heran.

"Aku pun ingin bekerja pada siang hari," sahut Bulan.

"Bulan, siang hari akulah yang bertugas. Kau harus beristirahat supaya bisa tampil segara nanti malam," kata Matahari.

"Tidak! Sebenarnya aku ingin bertarung denganmu," kata Bulan.

"Bertarung? Bertarung bagaimana?" Matahari makin bingung.

"Bintang-bintang mengatakan kau lebih hebat dariku. Aku ingin lihat, apa benar kau lebih hebat?"

"Bagaimana caranya?" tanya Matahari.

"Aku akan tetap tinggal di sini bersamamu. Lalu kita lihat, siapa yang lebih disukai orang-orang," kata Bulan.

"Ha ha ha," Matahari tertawa geli. "Bulan, di pagi hari kau tak kan terlihat. Sinarku lebih kuat dari sinarmu. Jadi apa gunanya?"

Bulan tidak perduli. Ia ingin tetap tinggal bersama Matahari.

Tetapi, kemudian ia kecewa. Sepanjang hari ia di sana, tak seorang pun menyapanya. Mereka hanya menyapa Matahari. "Hu hu, tak seorang pun menyukaiku. Bintang-bintang benar, Matahari lebih hebat dariku," Bulan menangis sedih.

"Benar 'kan Matahari lebih hebat," kata bintang-bintang yang mengelilinginya.

"Sekarang beristirahatlah, Bulan. Malam segera tiba."

"Tidak, aku tidak mau! Tak seorang pun menyukaiku. Apa gunanya aku ada di sana?" sahut Bulan sedih.

"Bulan, dengarlah! Matahari itu tak sehebat yang kau kira. Tapi, kami senang pada Matahari. Karena ia tidak sombong. Kami pun senang padamu, asalkan kau tak sombong. Sebenarnya kau dan Matahari tak bisa dibandingkan. Masing-masing punya kelebihan. Sudahlah, jangan menangis lagi," hibur sebuah Bintang pada Bulan.

Bulan berhenti menangis. Benar apa yang dikatakan Bintang. Ia tak boleh sombong. "Bulan, coba lihat!" kata sebuah bintang. Di bawah, sekelompok anak melambai-lambaikan tangan.

"Ya, mereka menginginkan kau menerangi tempat itu. "Tapi uaaaah...." Bulan menguap.

"Bulan mengantuk karena sepanjang siang tidak tidur. Biarlah untuk malam ini ia istirahat," kata bintang-bintang.

Malam itu Bulan tidak bekerja. Ia tertidur dengan nyenyak. Biarlah malam itu langit tak dihiasi Bulan. Yang penting, Bulan telah menyadari kesalahannya. Ia tak lagi sombong dan tetap hadir setiap malam.

20 November 2010

Pelayan yang malas

Ada seorang yang sangat kaya, dia sangat rajin, setiap hari sebelum matahari terbit dia sudah bekerja diperkebunannya.

Dia mengupah beberapa pekerja untuk bekerja dirumahnya. Tentu saja terhadap pelayannya dia juga sangat disiplin, dia memberi peraturan kepada mereka setiap subuh begitu ayam berkokok mereka sudah harus bangun bekerja.

Pada permulaan, pelayan-pelayannya sangat rajin bekerja, lama kelamaan mereka menjadi malas : ”Woi, ayam jantan ini kenapa setiap pagi demikian tepat waktu berkokok ! Begitu hari mulai terang dia telah berkokok, hendak tidur agak lama sedikit juga tidak bisa, sungguh menyebalkan !“ Mereka terus mengomel, tetapi tidak berani melanggar peraturan majikannya.

Pada suatu hari, mereka mencoba mencari akal mengerjai ayam jantan yang tepat berkokok ini, tetapi mereka tidak mendapat ide yang bagus. Akhirnya, seorang diantara mereka mendapat sebuah ide : ”Kenapa tidak kita potong saja ayam ini ? Dengan begitu dia selamanya tidak akan bisa berkokok lagi, bagus kan ide saya ini?” dengan bangga dia menyampaikan ide ini kepada teman-temannya.

Teman-temannya setelah mendengar ide tersebut, mereka merasa ide ini tidak jelek, kenapa tidak dari dulu terpikir oleh mereka ide baik ini ? Akhirnya mereka segera akan melaksanakan ide tersebut, pada malam hari mereka menangkap ayam jantan tersebut, menyekap mulut dan membunuhnya dengan diam-diam.

Mereka semua sangat gembira ide mereka berjalan dengan mulus, akhirnya mereka tidak usah bangun pagi-pagi lagi. Dengan bersemangat mereka semua berkumpul mengobrol perbuatan mereka, sehingga sampai malam mereka tidak tidur.

Keesokan harinya, niat mereka sudah terkabul mereka dapat bangun agak siang karena ayam tidak berkokok lagi, mereka bekerja sambil bernyanyi-nyanyi, mereka merasa gembira karena sudah dapat mencuri waktu, selamanya mereka sudah dapat bangun agak siang.

Pada hari ketiga, hari belum terang, dengan tergesa-gesa majikan mereka masuk kedalam kamar para pelayan ini, dengan berteriak dia berkata : ”Bangun ! Semuanya bangun ! Sekarang sudah harus mulai bekerja !........”

Para pelayannya mengucek-gucek mata mereka yang ngantuk dengan terkejut, mereka kaget melihat majikan mereka didalam kamar dengan cepat mereka segera membenah diri sendiri mulai bekerja.

Rupanya majikan mereka sudah tahu bahwa ayam jantannya yang tepat waktu berkokok tersebut sudah hilang, sehingga begitu bangun tidur dia langsung menyerbu kekamar pelayan membangunkan mereka.

Pelayan yang mengeluarkan ide ini sangat menyesal, dengan menarik nafas panjang dia berkata : ”Ehm ! Sungguh sial, berharap tidak ada ayam yang tepat waktu berkokok dapat tidur agak lama sedikit, malahan sekarang setiap hari harus bangun lebih cepat dari dulu. Oh Tuhan ! kenapa aku menyampaikan ide yang demikian jelek !”

Akhirnya, semua pelayan ini harus bangun lebih cepat dan mulai bekerja lebih awal dari dahulu. Tetapi akhirnya mereka sadar bahwa lebih banyak pekerjaan yang mereka kerjakan mereka akan mendapat upah yang lebih banyak.

17 November 2010

Daun untuk si pemalas

Di pinggiran sebuah kota, tampak sebuah gubuk kecil yang kotor.

Disana hanya terdapat dua ruangan sempit. Tampak sang istri sedang menjahit di bawah tenda di depan rumah, sedangkan sang suami hanya duduk - duduk di atas tikar yang sobek.

“Suamiku, pergilah mencari pekerjaan, di rumah sudah hampir tidak ada uang!” pinta sang istri.

“Cari pekerjaan? Itu cara mencari uang yang sangat lama, saya sedang mencari jurus ampuh?” sahut sang suami.

Sang istri kembali berkata, “Kerja seberapa ya dapat seberapa, mana ada jurus ampuh segala? kamu selalu saja membaca buku dari aliran sesat yang tidak karuan itu.”

Tiba-tiba sang suami berteriak dengan gembira,”Eh . .lihat……lihat di buku ini menerangkan bahwa ada daun yang bisa membuat orang menghilang, aku segera pergi mencarinya.”

Sesampainya di hutan dia mulai mencari, “Ini tidak mirip, yang ini juga tidak mirip, ah . .itu dia di atas pohon, ya …yang ini dia dengan gambar di buku sama persis”.

Sang suami pun memanjat pohon tersebut, namun tiba-tiba ada angin kencang meniup daun yang ada di tangannya itu sehingga terbang.

“Celaka, jangan lari, jangan lari”, si suami mencoba meraih daun tersebut, akhirnya daun itu terjatuh ke bawah tercampur dengan daun-daun yang lain, sehingga dia jadi bingung, “Wah bagaimana ini? Ah! lebih baik semua saya bawa pulang saja, nanti di rumah baru di cari satu persatu”.

Maka dia pun membawa semua daun-daun tersebut hingga penuh satu keranjang.

Sesampainya di rumah, dicobanya daun itu satu persatu ditempelkan di wajahnya sambil bertanya pada istrinya, ”Hei, istriku, apakah aku kelihatan ?”

“Kelihatan”, jawab sang istri.

“Sekarang apa masih kelihatan?” tanya si suami lagi.

“Kelihatan”, jawab si istri lagi.

“Kalau begini apa masih kelihatan?” sambil mengganti dengan daun yang lain.

“Masih kelihatan”, sahut sang istri dengan sedikit jengkel.

Sekali lagi sang suami mengganti daun dan ditaruh di wajahnya, sambil bertanya lagi, “Kalau begini apa terlihat?”

Sang istri saking jengkelnya diberi pertanyaan yang sama berulang-ulang, maka menjawab seenaknya, ”Tidak kelihatan, tidak kelihatan.”

Sang suami berteriak dengan gembiranya, “Ha..ha..sungguh bagus, dengan daun ini kita akan segera jadi kaya.”

Maka pergilah sang suami ke pasar, sampai di depan penjual perhiasan, dia menaruh daun tersebut di depan mukanya dan berkata, ”Tidak terlihat, tidak terlihat”, sambil mengambil sebuah gelang emas.

Namun alangkah kagetnya, ketika sang penjual perhiasan berteriak sambil menyeret tangannya, “Hei pencuri! apa yang kamu lakukan, ayo kita ke kantor polisi.”

Massa pun berusaha memukulnya, si suami yang malas itu dengan wajah babak belur berteriak dengan bingung, “Ke… kkenn . . kenapa bisa jadi begini?”

14 November 2010

Nilai yang kita sandang

Pada suatu ketika, di sebuah taman kecil ada seorang kakek.

Di dekat kaket tersebut terdapat beberapa anak yang sedang asyik bermain pasir, membentuk lingkaran. Kakek itu lalu menghampiri mereka, dan berkata:

“Siapa diantara kalian yang mau uang Rp. 50.000!!”

Semua anak itu terhenti bermain dan serempak mengacungkan tangan sambil memasang muka manis penuh senyum dan harap.

Kakek lalu berkata, “Kakek akan memberikan uang ini, setelah kalian semua melihat ini dulu.”

Kakek tersebut lalu meremas-remas uang itu hingga lusuh. Di remasnya terus hingga beberapa saat.

Ia lalu kembali bertanya “Siapa yang masih mau dengan uang ini lusuh ini?” Anak-anak itu tetap bersemangat mengacungkan tangan.

“Tapi,, kalau kakek injak bagaimana? “. Lalu, kakek itu menjatuhkan uang itu ke pasir dan menginjaknya dengan sepatu. Di pijak dan di tekannya dengan keras uang itu hingga kotor. Beberapa saat, Ia lalu mengambil kembali uang itu. Dan kakek kembali bertanya: “Siapa yang masih mau uang ini?”

Tetap saja. Anak-anak itu mengacungkan jari mereka. Bahkan hingga mengundang perhatian setiap orang. Kini hampir semua yang ada di taman itu mengacungkan tangan. :)

___________________________

Cerita diatas sangatlah sederhana. Namun kita dapat belajar sesuatu yang sangat berharga dari cerita itu.

Apapun yang dilakukan oleh si Kakek, semua anak akan tetap menginginkan uang itu, Kenapa? karena tindakan kakek itu tak akan mengurangi nilai dari uang yang di hadiahkan. Uang itu tetap berharga Rp. 50.000

Seringkali, dalam hidup ini, kita merasa lusuh, kotor, tertekan, tidak berarti, terinjak, tak kuasa atas apa yang terjadi pada sekeliling kita, atas segala keputusan yang telah kita ambil, kita merasa rapuh.

Kita juga kerap mengeluh atas semua ujian yang di berikan-Nya. Kita seringkali merasa tak berguna, tak berharga di mata orang lain.

Kita merasa di sepelekan, di acuhkan dan tak dipedulikan oleh keluarga, teman, bahkan oleh lingkungan kita.

Namun jangan lupa:

Nilai dari diri kita, tidak timbul dari apa yang kita sandang, atau dari apa yang kita dapat.

Nilai diri kita, akan dinilai dari perangai kita. Tingkah laku kita. seberapapun kita diinjak oleh ketidak adilan, kita akan tetap diperebutkan, kalau kita tetap konsisten menjaga sikap kita.

12 November 2010

Kasih sayang orang tua

Konon pada jaman dahulu, di suatu tempat ada semacam kebiasaan untuk membuang orang lanjut usia ke hutan.

Mereka yang sudah lemah tak berdaya dibawa ke tengah hutan yang lebat, dan selanjutnya tidak diketahui lagi nasibnya.

Alkisah ada seorang anak yang membawa orang tuanya (seorang wanita tua) ke hutan untuk dibuang.

Ibu ini sudah sangat tua, dan tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Si anak laki-laki ini menggendong ibu ini sampai ke tengah hutan.

Selama dalam perjalanan, si ibu mematahkan ranting-ranting kecil. Setelah sampai di tengah hutan, si anak menurunkan ibu ini.

“Bu, kita! sudah sampai”,kata si anak. Ada perasaan sedih di hati si anak. Entah kenapa dia tega melakukannya.

Si ibu , dengan tatapan penuh kasih berkata:”Nak, Ibu sangat mengasihi dan mencintaimu. Sejak kamu kecil, Ibu memberikan semua kasih sayang dan cinta yang ibu miliki dengan tulus. Dan sampai detik ini pun kasih sayang dan cinta itu tidak berkurang."

Nak, Ibu tidak ingin kamu nanti pulang tersesat dan mendapat celaka di jalan. Makanya ibu tadi mematahkan ranting-ranting pohon, agar bisa kamu jadikan petunjuk jalan”.

Demi mendengar kata-kata ibunya tadi, hancurlah hati si anak. Dia peluk ibunya erat-erat sambil menangis. Dia membawa kembali ibunya pulang, dan merawatnya dengan baik sampai ibunya meninggal dunia.

____________________


Cerita ini aku persembahkan untuk memperingati Hari Ulang Tahun Pernikahan Anakku tercinta :


Maria dan Kenji Sasai

Proficiat : 12 November 1999 - 12 November 2010



Semoga kalian menjadi orang tua yang baik seperti cerita di atas..
Yang mencintai anak dan keluarga lebih dari apapun..
Semoga Pernikahan kalian bisa langgeng, selalu bahagia sampai akhir hayat..

11 November 2010

Nuri

Ada seekor burung Nuri, meninggalkan rumah pergi melihat dunia yang lebih luas. Beberapa hari setelah terbang, dengan rasa lelah dan lapar iapun tiba di sebuah hutan, dan bermaksud untuk menetap sementara disitu.

Seekor Tupai yang melihat kedatangan Nuri itu, berloncatan gembira, lalu segera mengabarkan berita ini kepada seluruh binatang: “Hei, cepat lihat, ada tamu, ada tamu!”

Para binatang mengadakan upacara penyambutan selamat datang yang meriah pada Nuri, burung-burung menyanyikan lagu yang merdu, rusa-rusa menari riang, dan para monyet memetik buah buni yang segar dan lezat untuk Nuri.

Burung Nuri sangat terharu menghadapi semua penyambutan yang hangat ini.

Selanjutnya, selama beberapa bulan di hutan itu, semua margasatwa memperlakukan dengan sangat baik terhadap Nuri, semua makhluk disana sangat menyukainya.

Meskipun hidup dalam sukacita, tapi seiring dengan bergulirnya waktu, tak urung burung Nuripun menjadi rindu dengan kampung halamannya.

Lalu ia mohon pamit pada semua binatang dengan mengatakan: “Selama beberapa hari ini, saya sangat berterimakasih sekali atas perhatian kalian semua terhadap saya, namun saya harus segera pulang, jaga diri kalian baik-baik.”

Dengan perasaan berat, para binatang mengantar kepergian Nuri dalam perjalanan demi perjalanan, namun, meski dengan perasaan berat terpaksa mereka harus berpisah sampai disitu.

Beberapa hari kemudian, peristiwa yang malangpun terjadi. Hutan itu tiba-tiba terbakar, kobaran api itu begitu besar menyala-nyala, membuat segenap hutan merah membara hingga tampak di kejauhan ratusan mil.

Binatang-binatang dalam hutan tidak dapat menyelamatkan diri mereka, hingga banyak yang terluka maupun tewas, pemandangan demikian membuat kita tidak tega melihatnya.

Dari kejauhan burung Nuri melihat kobaran api di ujung sana, dalam benaknya ia berpikir suatu “musibah” telah terjadi, siang malam dan tanpa mengenal lelah ia bergegas ke hutan yang terbakar itu.

Ia terbang bolak balik ke sungai di sekitar hutan, dan membasahkan sayapnya ke air, kemudian menyemburkan air di sayapnya itu ke hutan.

Tidak tahu berapa kali sudah ia terbang bolak balik seperti itu, hingga membuatnya kelelahan, beberapa kali nyaris terpanggang oleh gelombang panas, sayap di badannya juga sudah terbakar, namun, kobaran api sedikit pun tidak melemah, malah semakin berkobar.

Sang Nuri sedikitpun tidak patah semangat, ia terus menyemburkan air.

Dewa langit melihat usaha sang Nuri lalu berkata : “Kau benar-benar tidak tahu diri, hanya dengan sedikit air yang disemburkan dari sayapmu itu sama sekali tidak bisa memadamkan kobaran api, untuk apa kamu berbuat demikian, salah-salah malah akan membahayakan nyawamu sendiri!”

Sang Nuri menjawab dengan mengatakan : “Saya tahu mungkin tidak dapat membantu, tapi saya pernah tinggal di sini, binatang-binatang di sana sangat baik terhadap saya.

Biar bagaimanapun, saya harus berusaha semampu saya, saya tidak bisa berpangku tangan melihat mereka semua mati terbakar hidup-hidup!”

Mendengar kata-kata sang Nuri, dewa sangat terharu, lalu segera memadamkan kobaran api hutan tersebut, akhirnya teman-teman Nuri terselamatkan.

______________________________

Tindakan Nuri ini sungguh layak kita tiru. Penuh perhatian, menekankan kesetiaan, tahu membalas budi, ketika sahabat menemui kesulitan, sudah semestinya kita berusaha menjulurkan tangan memberikan bantuan. Meskipun bantuan kita tidak seberapa tetapi ketulusan dan keiklasan adalah lebih penting dari besarnya bantuan itu sendiri.

08 November 2010

Sebutir biji lada

Ada seorang janda yang sangat berduka karena anak satu-satunya mati.

Sembari membawa jenasah anaknya, wanita ini menghadap Sang Guru untuk meminta mantra atau ramuan sakti yang bisa menghidupkan kembali anaknya.

Sang Guru mengamati bahwa wanita di hadapannya ini tengah tenggelam dalam kesedihan yang sangat mendalam, bahkan sesekali ia meratap histeris.

Alih-alih memberinya kata-kata penghiburan atau penjelasan yang dirasa masuk akal, Sang Guru berujar:

“Aku akan menghidupkan kembali anakmu, tapi aku membutuhkan sebutir biji lada.”

“Itu saja syaratnya?” tanya wanita itu dengan keheranan.

“Oh, ya, biji lada itu harus berasal dari rumah yang anggota penghuninya belum pernah ada yang mati.”

Dengan “semangat 45″, wanita itu langsung beranjak dari tempat itu, hatinya sangat antusias, “Guru ini memang sakti dan baik sekali, dia akan menghidupkan anakku!”

Dia mendatangi sebuah rumah, mengetuk pintunya, dan bertanya: “Tolonglah saya. Saya sangat membutuhkan satu butir biji lada. Maukah Anda memberikannya?” “Oh, boleh saja,” jawab tuan rumah. “Anda baik sekali Tuan, tapi maaf, apakah anggota rumah ini belum pernah ada yang mati?” “Oh, ada, paman kami meninggal tahun lalu.” Wanita itu segera berpamitan karena dia tahu bahwa ini bukan rumah yang tepat untuk meminta biji lada yang dibutuhkannya.

Ia mengetuk rumah-rumah berikutnya, semua penghuni rumah dengan senang hati bersedia memberikan biji lada untuknya, tetapi ternyata tak satu pun rumah yang terhindar dari peristiwa kematian sanak saudaranya. “Ayah kami barusan wafat…,” “Kakek kami sudah meninggal…,” “Ipar kami tewas dalam kecelakaan minggu lalu…,” dan sebagainya.

Ke mana pun dia pergi, dari gubuk sampai istana, tak satu tempat pun yang memenuhi syarat tidak pernah kehilangan anggotanya.

Dia malah terlibat dalam mendengarkan cerita duka orang lain.

Berangsur-angsur dia menyadari bahwa dia tidak sendirian dalam penderitaan ini; tak seorang pun yang terlepas dari penderitaan.

Pada penghujung hari, wanita ini kembali menghadap Sang Guru dalam keadaan batin yang sangat berbeda dengan sebelumnya.

Dia mengucap lirih, “Guru, saya akan menguburkan anak saya.” Sang Guru hanya mengangguk seraya tersenyum lembut.

Mungkin saja Sang Guru bisa mengerahkan kesaktian dan menghidupkan kembali anak yang telah mati itu, tetapi kalau pun bisa demikian, apa hikmahnya?

Bukankah anak tersebut suatu hari akan mati lagi juga? Alih-alih berbuat demikian Sang Guru membuat wanita yang tengah berduka itu mengalami pembelajaran langsung dan menyadari suatu kenyataan hidup yang tak terelakkan bagi siapa pun: siapa yang tak mati?

__________________

Penghiburan sementara belaka bukanlah solusi sejati terhadap peristiwa dukacita mendalam seperti dalam cerita di atas.

Penderitaan hanya benar-benar bisa diatasi dengan pengertian yang benar akan dua hal, yaitu kenyataan hidup sebagaimana adanya, bukan sebagaimana maunya kita, dan pada dasarnya penderitaan dan kebahagiaan adalah sesuatu yang bersumber dari dalam diri kita sendiri.

02 November 2010

Emas dan kuningan

Di sebuah negeri, hiduplah dua orang pengrajin yang tinggal bersebelahan.

Seorang diantaranya, adalah pengrajin emas, sedang yang lainnya pengrajin kuningan.

Keduanya telah lama menjalani pekerjaan ini, sebab, ini adalah pekerjaan yang diwariskan secara turun-temurun.

Telah banyak pula barang yang dihasilkan dari pekerjaan ini. Cincin, kalung, gelang, dan untaian rantai
penghias, adalah beberapa dari hasil kerajinan mereka.

Setiap akhir bulan, mereka membawa hasil pekerjaan ke kota.

Mereka akan berdagang barang-barang logam itu, sekaligus membeli barang-barang keperluan lain selama sebulan.

Beruntunglah, pekan depan, akan ada tetamu agung yang datang mengunjungi kota, dan bermaksud
memborong barang-barang yang ada disana.

Kabar ini tentu membuat mereka senang.

Tentu, berita ini akan membuat semua pedagang membuat lebih banyak barang yang akan dijajakan.

Siang-malam, terdengar suara logam yang ditempa. Setiap dentingnya, layaknya nafas hidup bagi mereka.

Tungku-tungku api, seakan tak pernah padam. Kayu bakar yang tampak membara, seakan menjadi penyulut semangat keduanya.

Percik-percik api yang timbul tak pernah di hiraukan mereka. Keduanya sibuk dengan pekerjaan
masing-masing.

Sudah puluhan cincin, kalung, dan untaian rantai penghias yang siap dijual. Dan lusa, adalah waktu yang tepat untuk berangkat ke kota.

Besoknya keduanya pun sampai di kota.

Hamparan terpal telah digelar, tanda barang dagangan siap dijajakan.

Keduanya pun berjejer berdampingan. Tampaklah, barang-barang logam yang telah dihasilkan.

Namun sayang ada kontras yang mencolok diantara keduanya.

Walaupun terbuat dari logam mulia, barang-barang yang dibuat oleh pengrajin emas tampak kusam.

Warnanya tak berkilau. Ulir-ulirnya kasar, dengan pokok-pokok simpul rantai yang tak rapi.

Seakan, sang pembuatnya adalah seorang yang tergesa-gesa.

“Ah, biar saja,” demikian ucapan yang terlontar saat pengrajin kuningan menanyakan kenapa perhiasaannya kawannya itu tampak kusam. “Setiap orang akan memilih daganganku, sebab, emas selalu lebih baik dari kuningan,” ujar pengrajin emas lagi, “Apalah artinya loyang buatanmu dibanding logam mulia yang kupunya, aku akan membawa uang lebih banyak darimu.”

Pengrajin kuningan, hanya tersenyum.

Ketekunannya mengasah logam, membuat semuanya tampak lebih bersinar.

Ulir-ulirnya halus. Lekuk-lekuk cincin dan gelang buatannya terlihat seperti lingkaran yang tak putus. Liku-liku rantai penghiasnya pun lebih sedap di pandang mata.

Ketekunan, memang sesuatu yang mahal. Hampir semua orang yang lewat, tak menaruh perhatian kepada pengrajin emas.

Mereka lebih suka mendatangi, dan melihat-melihat cincin dan kalung kuningan. Begitupun tetamu agung yang berkenan datang.

Mereka pun lebih menyukai benda-benda kuningan itu dibandingkan dengan logam mulia. Sebab, emas itu tidaklah cukup mereka tertarik, dan mau membelinya.

Sekali lagi, terpampang kekontrasan di hari pasar itu. Pengrajin emas yang tertegun diam, dan pengrajin kuningan yang tersenyum senang.

Hari telah sore, dan para tetamu telah kembali pulang. Kedua pengrajin itu pun telah selesai membereskan dagangan. Dan agaknya, keduanya mendapat pelajaran dari apa yang telah mereka lakukan hari itu.

___________________________

Ketekunan memang sesuatu yang mahal. Tak banyak orang yang bisa menjalani pekerjaan ini. Begitupun juga kemuliaan dan harga diri, tak banyak orang yang menyadari, bahwa kedua hal itu, kadang tak berasal dari apa yang kita sandang hari ini.

Setidaknya, tindak-laku kedua pengrajin itu, adalah potongan siluet kehidupan kita.

Ketekunan, adalah titian panjang yang licin berliku.

Seringkali, jalan panjang itu membuat kita terpelincir, dan jatuh. Seringkali pula, titian itu menjadi saringan penentu bagi setiap orang yang hendak menuju kebahagiaan di ujung simpulnya.

Namun, percayalah, ada balasan bagi setiap ketekunan. Di ujung sana, akan ada sesuatu yang menunggu setiap orang yang mau menekuni jalan itu.

Emas dan kuningan, bisa jadi punya nilai yang berbeda.

Namun, apakah kemuliaan dinilai hanya dari apa disandang keduanya? Apakah harga diri hanya ditunjukkan dari simbol-simbol yang tampak di luar? Sebab, kita sama-sama belajar dari pengrajin kuningan, bahwa loyang, kadang bernilai lebih dibanding logam mulia.

Dan juga bahwa kemuliaan, adalah buah dari ketekunan.

Bisa jadi saat ini kita pandai, kaya, punya kedudukan yang tinggi, dan hidup sempurna layaknya emas mulia. Namun, adakah semua itu berharga jika ulir-ulir hati kita kasar dan kusam? Adakah itu mulia jika, lekuk-lekuk kalbu kita koyak dan penuh dengan tonjolan-tonjolan kedengkian? Adakah itu semua punya harga, jika, pokok-pokok simpul jiwa yang kita punya, tak di penuhi dengan simpul-simpul ikhlas dan perangai yang luhur?