Pages

Subscribe:

30 April 2009

Pintu yang tertutup

Pernahkah kita mengucap syukur kepada Tuhan untuk "pintu-pintu" yang tertutup dalam kehidupan kita sebagaimana kita mengucap syukur untuk "pintu-pintu" yang terbuka?

Mungkin saat ini kita sedang bertanya-tanya, mengapa Tuhan tidak mengabulkan doaku untuk bisa bekerja di perusahaan itu?

Mengapa usaha dan bisnis yang aku rintis dan kudoakan tidak berhasil bahkan sering gagal?

Mengapa hubunganku dengan kekasihku kandas ditengah jalan?

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu seringkali muncul dalam pikiran kita, di saat impian, harapan dan cita-cita kita tidak tercapai dan bahkan berantakan.

Pernahkah kita berpikir bahwa setiap kali Tuhan menutup sebuah pintu, sebenarnya Tuhan sedang mengarahkan kita kepada pintu yang lain dimana berkat yang lebih baik sedang menunggu kita????

Seringkali kita tidak bisa berpikir dgn jernih dan melihat kebenaran tentang hal tersebut karena jiwa kita merana karena kesedihan dan mata kita buram dengan airmata.

Kita lupa sama sekali tentang kebenaran yang mengatakan bahwa Allah menuntun kita seperti seorang Ayah menuntun anaknya, seperti seorang Gembala yang baik menuntun
domba-dombaNya yang lemah dan bodoh.

Kita lupa tentang kebenaran yang mengatakan;
"......jika kamu yang jahat tahu memberikan apa yang baik untuk anak-anakmu, terlebih lagi Bapamu yang di sorga...... "

Salah satu alasan kenapa Tuhan menutup sebuah pintu atau beberapa pintu dalam kehidupan kita, yaitu karena di balik pintu-pintu itu tidak tersedia sesuatu yang berharga bagi hidup kita, atau juga mungkin ada sesuatu hal yang tidak akan membawa suatu kebaikan bagi kita.

Seringkali Tuhan menutup beberapa pintu dalam kehidupan kita hanya untuk membuat kita lebih dewasa, lebih tangguh, lebih berkualitas dan membuat kita lebih tahan uji!!!

Tuhan memilih melakukan hal itu karena dalam keadaan demikianlah kita lebih mudah untuk menjadi rendah hati, untuk belajar mendengarkan nasihatNya; belajar tentang
hal-hal yang lebih berarti, yg lebih bersifat kekal, belajar tentang menghargai orang lain dan belajar untuk tidak lagi bernafsu meninggikan diri
sendiri.

Seorang penjual burung harus menyelubungi sangkar burungnya dengan sehelai kain hitam saat menginginkan burung yang ada di dalam sangkar itu untuk mengeluarkan suara kicauanya yang merdu dan indah.

Konon dengan menutupi sangkar burung dan menjadikannya gelap akan membuat burung tersebut berkonsentrasi sehingga memunculkan hal-hal yang baik dari dirinya, yaitu
kicauannya.

Dan ketika sang burung melihat cahaya terang kembali, kicauannya selalu menjadi bunyi yang riang dan menyegarkan.

Seorang pandai besi harus memanaskan berkali-kali batang besi yang berbentuk jelek dan kemudian harus menghajarnya juga berkali-kali diatas landasan tempa untuk kemudian menjelmakan bentuk besi jelek tersebut menjadi sebuah perkakas yang kuat, tahan banting dan berguna untuk banyak orang atau menjadikannya sebagai sebuah benda
seni yang sangat indah dan mahal.

Nah, sekarang dapatkah anda percaya bahwa pintu-pintu yang tertutup dalam hidup anda bukan berarti Tuhan menghukum atau tidak mengasihi anda dan maukah anda mulai belajar mempercayai hidup anda kepadaNya, kepada Dia yang maha tahu, maha bijaksana dan yang sangat mengasihi anda?

Baiklah anda mulai belajar bersyukur kepadaNya untuk pintu-pintu yang tertutup dalam kehidupan kita, karena itu hanya mengarahkan anda kepada pintu anugerah dan berkat yang terbaik yang dibuka oleh Tuhan untuk kehidupan anda!!!!

Karena Tuhan tahu dan mengerti apa yang terbaik untuk anak-anak yang di kasihiNya.

23 April 2009

Bliss of shop

Seorang muda yang selalu resah dan gelisah menemui seorang bijak dan bertanya, ''Berapa lamakah waktu yang saya butuhkan untuk memperoleh kebahagiaan?''
Orang bijak itu memandang si anak muda kemudian menjawab, ''Kira-kira sepuluh tahun.''

Mendengar hal itu anak muda tadi terkejut, ''Begitu lama,?'' tanyanya tak percaya.
''Tidak,'' kata si orang bijak, ''Saya keliru. Engkau membutuhkan 20 tahun.''
Anak muda itu bertambah bingung. ''Mengapa Guru lipatkan dua,?'' tanyanya keheranan.
Orang bijak kemudian berkata, ''Coba pikirkan, dalam hal ini mungkin engkau membutuhkan 30 tahun.''

Apa yang terlintas dalam pikiran Anda ketika membaca cerita di atas?

Tahukah Anda mengapa semakin banyak orang muda itu bertanya, semakin lama pula waktu yang diperlukannya untuk mencapai kebahagiaan?

Lantas, bagaimana cara kita mendapatkan kebahagiaan?

Sebagaimana yang telah banyak disampaikan, kebahagiaan hanya akan dicapai kalau kita mau melakukan pencarian ke dalam.

Namun, itu semua tidak dapat Anda peroleh dengan cuma-cuma. Anda harus mau membayar harganya.

Agar lebih mudah kita gunakan analogi sebuah toko. Nama toko itu adalah ''Toko Kebahagiaan.''

Di sana tidak ada barang yang bernama ''kebahagiaan'' karena ''kebahagiaan'' itu sendiri tidak dijual.

Namun, toko ini menjual semua barang yang merupakan unsur-unsur pembangun kebahagiaan, antara lain: kesabaran, keikhlasan, rasa syukur, kasih sayang, kejujuran, kepasrahan, dan rela memaafkan.

Inilah ''barang-barang'' yang Anda perlukan untuk mencapai kebahagiaan.

Tetapi, berbeda dari toko biasa, toko ini tidak menjual produk jadi.
Yang dijual di sini adalah benih. Jadi, kalau Anda tertarik untuk membeli ''kesabaran'' Anda hanya akan mendapatkan ''benih kesabaran.''

Karena itu, segera setelah Anda pulang ke rumah Anda harus berusaha keras untuk menumbuhkan benih tersebut sampai ia menghasilkan buah kesabaran.

Setiap benih yang Anda beli di toko tersebut mengandung sejumlah persoalan yang harus Anda pecahkan.

Hanya bila Anda mampu memecahkan persoalan tersebut, Anda akan menuai buahnya.

Benih yang dijual di toko itu juga bermacam-macam tingkatannya.

''Kesabaran tingkat 1,''misalnya, berarti menghadapi kemacetan lalu lintas, atau pengemudi bus yang ugal-ugalan.

''Kesabaran tingkat 2'' berarti menghadapi atasan yang sewenang-wenang, atau kawan yang suka memfitnah.

''Kesabaran tingkat 3'', misalnya, adalah menghadapi anak Anda yang terkena autisme.

Menu yang lain misalnya ''bersyukur.''

''Bersyukur tingkat 1'' adalah bersyukur di kala senang, sementara
''Bersyukur tingkat 2'' adalah bersyukur di kala susah.

''Kejujuran tingkat 1,'' misalnya, kejujuran dalam kondisi biasa, sementara
''Kejujuran tingkat 2'' adalah kejujuran dalam kondisi terancam.

Inilah sebagian produk yang dapat dibeli di ''Toko Kebahagiaan''.

Setiap produk yang dijual di toko tersebut berbeda-beda harganya sesuai dengan kualitas karakter yang ditimbulkannya.

Yang termahal ternyata adalah ''kesabaran'' karena kesabaran ini merupakan bahan baku dari segala macam produk yang dijual di sana.

Seorang filsuf Thomas Paine pernah mengatakan, ''Apa yang kita peroleh dengan terlalu mudah pasti kurang kita hargai.

Hanya harga yang mahallah yang memberi nilai kepada segalanya. Tuhan tahu bagaimana memasang harga yang tepat pada barang-barangnya.''

Dengan cara pandang seperti ini kita akan menghadapi masalah secara berbeda.

Kita akan bersahabat dengan masalah.

Kita pun akan menyambut setiap masalah yang ada dengan penuh kegembiraan karena dalam setiap masalah senantiasa terkandung ''obat dan vitamin'' yang sangat kita butuhkan.

Dengan demikian Anda akan ''berterima kasih'' kepada orang-orang yang telah menyusahkan Anda karena mereka memang ''diutus'' untuk membantu Anda.

Pengemudi yang ugal-ugalan, tetangga yang jahat, atasan yang sewenang-wenang adalah peluang untuk membentuk kesabaran.

Penghasilan yang pas-pasan adalah peluang untuk menumbuhkan rasa syukur.

Suasana yang ribut dan gaduh adalah peluang untuk menumbuhkan konsentrasi.

Orang-orang yang tak tahu berterima kasih adalah peluang untuk menumbuhkan perasaan kasih tanpa syarat.

Orang-orang yang menyakiti Anda adalah peluang untuk menumbuhkan kualitas rela memaafkan.

Sebagai penutup marilah kita renungkan ungkapan berikut ini:

Aku memohon kekuatan, dan Tuhan memberiku kesulitan-kesulitan untuk membuatku kuat.
Aku memohon kebijaksanaan, dan Tuhan memberiku masalah untuk diselesaikan.
Aku memohon kemakmuran, dan Tuhan memberiku tubuh dan otak untuk bekerja.
Aku memohon keberanian, dan Tuhan memberiku berbagai bahaya untuk aku atasi.
Aku memohon cinta, dan Tuhan memberiku orang-orang yang bermasalah untuk aku tolong.
Aku mohon berkah dan Tuhan memberiku berbagai kesempatan.
Aku tidak memperoleh apapun yang aku inginkan, tetapi aku mendapatkan apapun yang aku butuhkan.

22 April 2009

Siapa yang Menabur.. dia akan menuai...

Ada dua orang India sedang mengarungi badai salju di pegunungan Himalaya. Mereka berjalan dengan susah payah karena udara yang sangat dingin terasa sampai ke sumsum tulang dan terpaan angin dingin juga menambah beratnya perjalanan mereka.

Di tengah perjalanan tiba-tiba mereka bertemu dengan seorang laki-laki yang tergeletak di pinggir jalan. Karena kasihan melihat keadaan orang itu, orang India yang pertama berkata kepada temannya, " Orang ini masih hidup. Kasihan sekali kalau dia dibiarkan tergeletak di sini, dia pasti akan meninggal, mari kita tolong dia." Tapi temannya menjawab," Bagaimana kita bisa menolongnya kalau membawa diri sendiri saja sudah sangat susah di tengah badai seperti ini. Kalau kau ingin membawanya, silahkan, tapi aku tidak akan menolongmu."

Maka orang yang pertama dengan sangat susah payah memanggul tubuh orang yang tak berdaya itu sedangkan temannya lebih dulu melanjutkan perjalanan sendirian. Orang India yang pertama memang pada awalnya merasa perjalannya sangat berat karena beratnya tubuh orang yang dipanggulnya itu, tapi lama kelamaan ia tidak terlalu merasa kedinginan lagi karena kehangatan tubuh orang yang dipanggulnya itu juga menjalar ke tubuhnya, maka ia terus berjalan dengan pelan-pelan.

Kemudian di tepi perjalanan, dia melihat satu orang lagi yang tergeletak di tengah jalan, ketika ia memperhatikan lebih dekat orang itu sudah meninggal dunia dan dia adalah teman seperjalanannya tadi.

Jadi karena tidak tahan terhadap cuaca yang sangat dingin itu, temannya itu akhirnya meninggal dunia karena kedinginan, sedangkan ia tertolong oleh panas tubuh orang yang ditolongnya itu.

Maka Anda lihat bukan, bahwa karena niatnya untuk menolong orang lain, sebenarnya dia telah menolong dirinya sendiri, jadi banyak-banyaklah berbuat baik terhadap siapa saja tak peduli betapa sulit pun keadaan kita. Karena kita tidak pernah tahu apa yang menanti kita di depan sana.

21 April 2009

Semangkuk Mie

Pada malam itu, Ana bertengkar dengan ibunya. Karena sangat marah, Ana meninggalkan rumah tanpa membawa apapun. Saat berjalan di suatu jalan, ia baru menyadari bahwa ia sama sekali tidak membawa uang.

Saat menyusuri sebuah jalan, ia melewati sebuah kedai bakmi dan ia mencium harum aromanya. Ia ingin sekali memesan semangkuk bakmi, tetapi ia tidak mempunyai uang.

Pemilik kedai melihat Ana berdiri cukup lama di depan kedainya, lalu berkata "Nona, apakah engkau ingin memesan semangkuk bakmi?"

"Ya, tetapi, aku tdk membawa uang" jawab Ana malu-malu

"Tidak apa-apa, aku akan menraktirmu" jawab si pemilik kedai. "Silahkan duduk, aku akan memasakkan bakmi untukmu."

Tidak lama kemudian, pemilik kedai itu mengantarkan semangkuk bakmi. Ana segera makan beberapa suap, kemudian air matanya mulai berlinang.

"Ada apa nona?" tanya si pemilik kedai.

"Tidak apa-apa" aku hanya terharu jawab Ana sambil mengeringkan air matanya.

"Bahkan, seorang yang baru kukenal pun memberi aku semangkuk bakmi, Tetapi ibuku setelah bertengkar denganku, mengusirku dari rumah dan mengatakan kepadaku agar jangan kembali lagi ke rumah. Kau, seorang yang baru kukenal, tetapi begitu peduli denganku dibandingkan dengan ibu kandungku sendiri" katanya kepada pemilik kedai

Setelah mendengar perkataan Ana, pemilik kedai itu menarik nafas panjang dan berkata "Nona mengapa kau berpikir seperti itu? Renungkanlah hal ini, aku hanya memberimu semangkuk bakmi dan kau begitu terharu. Ibumu telah memasak bakmi dan nasi untukmu saat kau kecil sampai saat ini, mengapa kau tidak berterima kasih kepadanya? Dan kau malah bertengkar dengannya."

Ana, terhenyak mendengar hal tsb. "Mengapa aku tidak berpikir tentang hal tersebut? Untuk semangkuk bakmi dari orang yang baru kukenal, aku begitu berterima kasih, tetapi kepada ibuku yg memasak untukku selama bertahun-tahun, aku bahkan tidak memperlihatkan kepedulianku. Dan hanya karena persoalan sepele, aku bertengkar dengannya.

Ana, segera menghabiskan bakminya, lalu ia menguatkan diri untuk segera pulang ke rumahnya.Saat berjalan ke rumah, ia memikirkan kata-kata yang harus diucapkan pada ibunya.

Begitu sampai di ambang pintu rumah, ia melihat ibunya dengan wajah letih dan cemas.

Ketika bertemu dengan Ana, kalimat pertama yang keluar dari mulutnya adalah "Ana kau sudah pulang, cepat masuklah, aku telah menyiapkan makan malam dan makanlah dahulu sebelum kau tidur, makanan akan menjadi dingin jika kau tidak memakannya sekarang."

Pada saat itu Ana tdk dapat menahan tangisnya dan ia menangis dihadapan ibunya.

Sekali waktu, kita mungkin akan sangat berterima kasih kepada orang lain di sekitar kita karena pertolongan kecil yang diberikan.

Tetapi kepada orang yang sangat dekat dengan kita, terlebih lagi orang tua, kita harus ingat bahwa kita berterima kasih kepada mereka seumur hidup kita.

14 April 2009

Garam dalam telaga

Suatu ketika, hiduplah seorang tua yang bijak.

Pada suatu pagi, datanglah seorang anak muda yang sedang dirundung banyak masalah.

Langkahnya gontai dan air muka yang ruwet. Tamu itu, memang tampak seperti orang yang tak bahagia.

Tanpa Membuang waktu, orang itu menceritakan semua masalahnya.

Pak Tua yang bijak, hanya mendengarkannya dengan seksama.

Ia lalu mengambil segenggam garam, dan meminta tamunya untuk mengambil segelas air.

Ditaburkannya garam itu kedalam gelas, lalu diaduknya perlahan. "Coba, minum ini, dan katakan bagaimana rasanya..", ujar Pak tua itu.

"Pahit. Pahit sekali", jawab sang tamu, sambil meludah kesamping.

Pak Tua itu, sedikit tersenyum. Ia, lalu mengajak tamunya ini, untuk berjalan ke tepi telaga di dalam hutan dekat tempat tinggalnya.

Kedua orang itu berjalan berdampingan, dan akhirnya sampailah mereka ke tepi telaga yang tenang itu.

Pak Tua itu, lalu kembali menaburkan segenggam garam, ke dalam telaga itu. Dengan sepotong kayu, dibuatnya gelombang mengaduk-aduk dan tercipta riak air, mengusik ketenangan telaga itu.

"Coba, ambil air dari telaga ini, dan minumlah".

Saat tamu itu selesai mereguk air itu, Pak Tua berkata lagi, Bagaimana rasanya?".

"Segar.", sahut tamunya.

"Apakah kamu merasakan garam di dalam air itu?", tanya Pak Tua lagi.

"Tidak", jawab si anak muda.

Dengan bijak, Pak Tua itu menepuk-nepuk punggung si anak muda. Ia lalu mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh di samping telaga itu.

"Anak muda, dengarlah. Pahitnya kehidupan, adalah layaknya segenggam garam, tak lebih dan tak kurang.

Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama, dan memang akan tetap sama".

"Tapi, kepahitan yang kita rasakan, akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki.

Kepahitan itu, akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya.

Itu semua akan tergantung ! pada hati kita.

Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan.

Lapangkanlah dadamu menerima semuanya.

Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu".

Pak Tua itu lalu kembali memberikan nasehat.

"Hatimu, adalah wadah itu.
Perasaanmu adalah tempat itu.
Kalbumu, adalah tempat kamu menampung segalanya.

Jadi, jangan jadikan hatimu itu seperti gelas, buatlah laksanatelaga yang mampu meredam setiap kepahitan itu dan merubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan".

12 April 2009

HAPPY EASTER

Artikel untuk memperingati hari Pengorbanan dan Penebusan:

Hari itu hari Kamis, hari pengucapan syukur, hari yang direncanakan sebagai hari untuk ibadah. Hari khusus itu merupakan tradisi mingguan yang diprakarsai oleh dua gadis kecil, anakku dan aku sendiri sejak beberapa tahun lalu. Hari Kamis menjadi hari bagi kami untuk keluar ke alam bebas dan memberikan sumbangan positif. Pada hari Kamis yang khusus ini, kami tak punya gagasan pasti apa yang akan kami lakukan, tetapi kami tahu sesuatu akan muncul dengan sendirinya.

Sambil mengendarai mobil di sepanjang jalan Houston yang ramai, berdoa mohon bimbingan terhadap hasrat kami untuk memenuhi janji Hari Perbuatan Baik pekan itu.

Ketika hari menjelang siang, sudah tentu perut dua bocah kecilku mulai lapar. Mereka berupaya menyadarkanku akan situasi mereka dengan bernyanyi, "McDonald, McDonald, McDonald, ...." sepanjang perjalanan.

Aku menyerah dan dengan bersungguh-sungguh mulai mencari-cari McDonald terdekat. Mendadak aku sadar bahwa di setiap persimpangan jalan yang kulewati selalu ada beberapa pengemis. Hal itu menggugah hatiku! Jika dua anakku yang kecil kelaparan, semua pengemis itu tentunya kelaparan juga.

Tepat! Sasaran Perbuatan Baik yang akan kami lakukan telah muncul dengan sendirinya.

Kami pergi membeli makan siang untuk para pengemis itu.

Setelah menemukan McDonald dan memesan dua Happy Meals untuk gadis-gadis kecil itu, aku memesan tambahan 15 kotak makan siang dan kami pun keluar untuk membagikannya. Benar-benar menggembirakan.

Kami menghampiri setiap pengemis, memberikan sumbangan kami, lalu memberitahu mereka bahwa kami berharap keadaan mereka baik-baik saja.

Lalu kami mengatakan, "Eh omong-omong, ini ada makan siang." Lalu kami pun melaju ke persimpangan berikutnya. Itu adalah cara terbaik untuk memberi. Tak ada waktu cukup bagi kami untuk memperkenalkan diri kami atau menerangkan apa yang kami lakukan, juga tak ada waktu bagi mereka untuk mengatakan sesuatu kembali kepada kami.

Perbuatan Baik itu anonim dan memberi kekuatan kepada kami masing-masing, dan kami senang melihat apa yang tampak dari kaca belakang; seseorang yang terperanjat penuh kegembiraan mengangkat tas makan siangnya lalu memandang kami yang melaju pergi. Benar-benar indah!

Kami sudah mendekati akhir rute kami hari itu dan ada seorang wanita kecil berdiri, meminta uang kecil. Kami memberikan sedekah ala kadarnya dan kantong makan siang terakhir yang kami miliki, lalu buru-buru berputar ke arah yang berlawanan-pulang ke rumah.

Sial, lampu merah menahan kami kembali dan kami pun berhenti di persimpangan yang sama dimana si wanita kecil tadi berdiri. Aku merasa malu dan tak tahu harus bersikap bagaimana. Aku tak ingin wanita itu merasa terpaksa mengatakan atau melakukan sesuatu.

Dia bergerak ke mobil kami, maka kuturunkan jendela ketika dia mulai berbicara, "Tak seorang pun pernah melakukan hal seperti ini untukku sebelumnya," katanya dengan takjub.

Aku menjawab, "Yah, aku bahagia kami menjadi yang pertama." Merasa tak enak, dan ingin memperpanjang percakapan itu saya pun bertanya, "Lalu, kapan kamu akan memakan santapan siangmu?"

Dia hanya melihat padaku dengan mata coklatnya yang besar dan sayu, lalu berkata, "Oh sayang, aku tak akan memakannya."

Aku terheran- heran, tetapi sebelum aku sempat mengatakan sesuatu, ia melanjutkan.

"Anda tahu, aku punya seorang gadis kecil di rumah dan dia suka sekali McDonald, tetapi aku tak pernah mampu membelikan untuknya karena aku benar-benar tak punya uang. Tetapi tahukah Anda ... malam ini dia akan makan McDonald!"

Aku tak tahu apakah anak-anak melihat air mata di pelupuk mataku.

Begitu sering aku bertanya apakah Perbuatan Baik yang kami lakukan begitu remeh atau tak punya arti untuk mendatangkan perubahan yang nyata.

Namun pada saat itu aku menyadari kebenaran kata-kata Ibu Teresa : " Kita tak mampu melakukan hal-hal yang besar, kita hanya mampu melakukan hal-hal yang kecil dengan cinta yang besar. "

Sumber: Disadur dari "Chicken Soup for The Woman's Soul" by Donna Wick